Riau harus segera melaksanakan swasembada pangan, demikian bunyi berita di salah satu media massa lokal di Pekanbaru. Pernyataan ini diungkapkan salah seorang pejabat Riau.
Saya sempat tertegun membaca kalimat tersebut. Maklumlah, setahu saya sampai saat ini Riau masih sangat tergantung pangan dari provinsi tetangga (terutama Sumatera Barat), bahkan termasuk dari luar negeri (beras Thailand).
Seharusnya hal ini sudah jauh-jauh hari dipikirkan pejabat Riau. Sebagai daerah yang memiliki cukup luas lahan idealnya sudah lama mencapai swasembada pangan. Hanya saja, kebijakan ke arah tersebut tak pernah ada, apalagi jika yang ditanya realisasinya di lapangan, sangat jauh.
Alhasil, jangankan swasembada pangan, untuk membeli beras saja masih diatur kondisi alam. Sebut saja jika jalan Sumbar-Riau putus, alamatlah harga beras naik. Ini, baru satu jenis beras saja, belum lagi yang lain.
Kondisi ini harus cepat dicermati pemerintah. Tak hanya sebatas kebijakan, tetapi aktualisasi di lapangan. Apalagi kecenderungan masyarakat Riau, termasuk pejabatnya berlomba-lomba menanam sawit. Mulai dari lahan yang sebelumnya dijadikan kebun karet, sampai hutan-hutan yang adapun dibabat dan disulap jadi kebun sawit.
Belum lagi pertumbuhan penduduk yang menyebabkan sawah yang terdapat di sejumlah tempat seperti di Kabupaten Kampar berganti dengan rumah.
Pengalihan hutan menjadi kawasan hutan tanaman industri untuk perusahaan pulp and paper juga menjadi permasalahan. Sebut saja di kawasan Tebingtinggi. Menhut MS Kaaban berdasarkan rekomendasi pejabat di Riau mengeluarkan HPHTI untuk anak perusahaan Indah Kiat, seluas 10 ribu lebih hektare. Naifnya, areal tersebut juga masuk ke kebun sagu masyarakat.
Jika ini tak diselesaikan dengan bijaksana dan tegas, alamat masyarakat di sepuluh desa di kawasan HPHTI tersebut tak makan. Maklumlah, sagu yang selama ini menjadi makanan pokok akan berkurang dan akan bergantilah dengan akasia. Otomatis petani akan kehilangan sagu dan beralih profesi dan terpaksa membeli beras. Swasembada pangan? Ntahlah. Kebulou ye(kelaparan iya)
Itu baru segelintir permasalahan di Riau, Keberadaan perusahaan pulp and paper membuat pemerintah ''terpaksa'' mengeluarkan izin menyulap hutan menjadi kebun akasia. Jika tidak dikhawatirkan dua pabrik tersebut kehabisan bahan baku.
Agar menuju swasembada pangan ada beberapa hal yang harus dilakukan. Pertama, pemerintah provinsi Riau dan Kabupaten/kota membuat komitmen untuk membantu petani dalam menggarap sawah dan ladang. Salah satu caranya, dengan memberikan subsidi pupuk, dan
siap memberikan jalan pemasarannya, dan persaingan harga.
Kedua, membuat peraturan pengambangan (pelarangan) terhadap
pembabatan hutan yang bertujuan untuk HPHTI dan perkebunan sawit. Ketiga, Kebijakan tak hanya di atas kertas, tetapi benar-benar diaktualisasikan oleh pemerintah.
Mudah-mudahan ini bisa dilaksanakan, sehingga ekonomi masyarakat Riau bisa bangkit. Karena 75 persen penduduk Riau berdomisili di desa, dan hidup sebagai petani. Jika hal ini tak segera dilaksanakan, dan kebun sawit terus menjadi tren, HPHTI juga terus didewakan di Riau, maka alamat akan kebuloulah masyarakat Riau jika pasokan pangan dari luar macet.
Kamis, 29 Mei 2008
Swasembada atau Kebulou?
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar