Senin, 19 Mei 2008

Ketidakberdayaan Buruh


 

SEMUA orang pasti pernah mendengar kata buruh. Namun tidak semua orang mengerti dengan makna buruh. Di Indonesia, buruh identik dengan pekerja berat, pengangkat barang, kuli bangunan dan lainnya yang bekerja menggunakan tenaga.
    Padahal, menurut UU nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh adalah mereka yang bekerja atau menerima upah/imbalan. Baik bekerja dalam bentuk tenaga maupun gagasan.
Di Indonesia, buruh selalu berada pada sisi lemah, mereka senantiasa dijadikan sapi perahan. Hak-hak yang seharusnya mereka   dapat selalu diabaikan. Mulai dari gaji yang tidak seimbang,malah banyak perusahaan yang menggaji buruh mereka di bawah Upah Minimum Regional (UMR).
     Belum lagi pemberlakukan asuransi kesehatan, dan ketenagakerjaan yang tak disertakan perusahaan, waktu kerja yang penjang dan segala macam bentuk ''penindasan'' yang harus diterima.
   Pemilik usaha seakan tak peduli dengan kesejahteraan buruh.Termasuk juga pemerintah, dengan berbagai alasan seperti kesinambungan dunia usaha turut mengamini keputusan tersebut.
    Alhasil, buruh sebagai pekerja harus siap menerima seluruh keputusan dan peraturan yang berlaku di tempatnya bekerja, kalau tidak ya pilih saja satu kata, berhenti. Akhirnya, karena takut diberhentikan alias PHK, sementara mencari kerja sulit, buruhpun menerimanya dengan terpaksa.
    Pemerintah sendiri dengan Dinas Tenaga Kerja malah tak berdaya, atau ''sengaja'' tak berdaya. Dengan alasan tenaga pegawai tak cukup, jangan harap akan mencari tahu bagaimana penderitaan buruh di perusahaan atau tempat bekerja. Jikapun ada menunggu laporan dari buruh atau tenaga kerja, barulah bergerak.Itupun belum tentu hasilnya akan membela buruh. Padahal, prosesnya cukup panjang, buruh yang melapor akan diinterogasi
alias diminta keterangan, kemudian kalaupun serius pihak perusa
haan dipanggil untuk diklarifikasi.
    Hasilnya? Buruh harus siap-siaplah kalah, dan jangan optimis akan menang. Salah-salah diberhentikan. 
Kondisi ini berlaku di Indonesia, Riau dan Pekanbaru khususnya. Tak sedikit buruh yang bekerja di dunia usaha di Pekanbaru diberlakukan tidak sesuai. Gaji di bawah Upah Minimum Kota (UMK) Pekanbaru, tidak didaftarkan di Jamsostek, dan banyak lagi. Sedangkan Disnaker sendiri tak kuasa. Dengan alasan pegawainya sedikit plus tak ada laporan semuanya berlalu seakan tak pernah ada.
    Begitulah nasib buruh. Sebagai pihak yang lemah selalu diberlakukan tak adil. Idealnya, pemerintah bersikap tegas.Gubernur, Walikota, dan Bupati hendaknya mengangkat sosok Kadisnaker yang berani membela hak-hak buruh sebagai pihak lemah untuk ditolong dengan tidak merugikan perusahaan. Bukan sebaliknya selalu beralasan kekurangan pegawai untuk turun ke lapangan. Padahal, gaji mereka sangat besar dengan berbagai tunjangan.
Begitupula dengan pihak perusahaan harus berfikir bahwa mengurangi hak buruh adalah perbuatan zalim yang dimurkai Tuhan.
     Sebab buruh juga manusia yang punya akal dan perasaan. Jika mereka dibayar sesuai atau sedikit lebih, pasti mereka akan bekerja dengan lebih baik. Semoga pemerintah, dan pengusaha terbuka mata dan hatinya untuk para buruh, sehingga tak lagi ada aksi demo oleh buruh di
negeri tercinta ini.


Tidak ada komentar: